TIMIKA, CARTENZNEWS.com-Sengketa Pilkada Mimika yang tengah bergulir di Mahkamah Kostitusi (MK) Republik Indonesia mendapat tanggapan dari Pakar Hukum Pidana, Prof Dr Mompang Lycurgus Panggabean SH., M.Hum.
Ia memberi judul pada tanggapannya ‘Lemparan Untung-untungan’.
“Agaknya itu istilah yang dapat dijadikan judul gugatan terhadap hasil Pilkada Mimika yang dilayangkan Paslon nomor 02 dan 03. meskipun gugatan Paslon 03 sudah di-dismissal oleh Mahkamah Konstitusi, sementara perjuangan Paslon 02 terus berjalan dalam sidang 11 Februari 2025 yang lalu,” kata Mompang mengawali tulisannya yang dikirim kepada CARTENZNEWS.com Sabtu (15/2/2025) malam.
Dia mengatakan fakta yang dapat diungkap atas dalil pertama bahwa Calon Bupati Mimika terpilih nomor urut 01, Johannes Rettob (JR) bukan Bupati Mimika periode 2019-2024, melainkan Wakil Bupati berpasangan dengan Eltinus Omaleng, dan tidak pernah melakukan mutasi pejabat ASN dengan kode SK 824.3 dan 824.4, sedangkan kode SK Bupati yang sejati adalah 82.1 dan 2.
Timbul tanda tanya, apakah terdapat indikasi tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP) atau pemalsuan akta autentik (264 KUHP)?
Bertalian dengan fakta kedua tidak adanya mutasi secara faktual.
Bukankah dalam hal ini telah terjadi penyebaran informasi elektronik dengan sengaja dan melawan hukum? Namun sesuai Undang Undang nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, delik tersebut mensyaratkan akibat berupa timbulnya kerusuhan dalam masyarakat (bukan sebatas dunia virtual atau siber).
Fakta ketiga berupa klarifikasi Sekda Mimika terkait adanya kekeliruan sehingga telah dibatalkan berdasarkan SK pembatalan, memperlihatkan kejanggalan tentang surat pembatalan dan surat klarifikasi yang rentang waktunya begitu jauh (30 Agustus 2024 dan 2025).
Keberadaan Surat Edaran Bawaslu Nomor 049/KA Bawaslu PM 06.00/XI/2016 tanggal 20 Oktober 2016 bahwa perbuatan penggantian pejabat oleh gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota tidak termasuk kategori yang diatur Pasal 71 Undang-Undang Pilkada dan klarifikasi pada tahap pendaftaran paslon tampaknya tidak mampu meredam hasray Paslon 02 menggugat Paslon 01.
Empat dugaan pelanggaran ditambah tudingan kesalahan penghitungan suara ibarat lemparan untung-untungan untuk menjatuhkan seekor burung di pucuk pohon dengan memakai batu yang dipungut begitu saja, tanpa alasan yang jelas yang memanfaatkan kondisi psikologis masyarakat.
Dari sisi psikologi hukum, sangat beralasan untuk mengkaji secara cermat dan mendalam bagaimana sesungguhnya kedewasaan politik para tokoh masyarakat, bukan hanya di Mimika, tetapi juga berbagai daerah di Indonesia.
Politicon sebagai seni untuk menata negara kota pada jaman dahulu mengingatkan kita tentanh pentingnya menerapkan prinsip “Ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake, sekti tanpo aji-aji” sebagaimana diakui dalam filosofi Jawa yang berarti berjuang tanpa massa, menang tanpa merendahkan lawan, dan cerminan dari sifat dan sikap seseorang yang selalu menjaga lisannya dan tindak tanduknya di dalam kehidupan sosial.
Terlebih lagi jika mengingat akar filsafat adat Kamoro yang mengandung makna manusia yang hidup. Maka, sebagai manusia yang hidup saling menghargai dan menghormati orang lain lebih daripada dirinya sendiri.
Demikian juga harus setia menjaga dan memelihara tanah air titipan leluhur sebagai sumber kehidupan masyarakat adat yang diakui oleh suku Amungme, sehingga kesetiaan menjunjung tinggi nilai-nilai adat-istiadat harus melampaui hasrat pribadi dan golongan untuk berkuasa demi mencari primus inter pares.
“Sebagai penutup, tak salah jika mengingat esensi Gerakan Tungku Api yang dihidupkan oleh alm. Mgr John Philip Saklil, yang bertumpu pada usaha perlindungan dan pengelolaan sumber hak hidup masyarakat asli,” ungkap Guru Besar Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia, yang menyebutkan dirinya Anak Dusun dari Sentani.
Wartawan/Editor: Yosefina