TIMIKA, CARTENZNEWS.com-Terkait sengketa Pilkada Mimika yang tengah bergulir di Mahkamah Konstitusi, Praktisi Hukum Matheus Mamun Sare mengungkapkan tidak ada rekomendasi Pandis saat pleno tingkat distrik maupun kabupaten, berarti tidak ada keberatan yang diajukan saksi, sehingga gugatan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Mimika nomor urut 2 Maximus Tipagau dan Peggy Patrisia Pattipi harus ditolak.
Dijelaskan dalil pemohon terhadap perolehan suara pihak terkait pada 12 distrik yang mendekati 100 persen, jika tidak dapat mempengaruhi perolehan suara Paslon, maka menurut hukum haruslah dikesampingkan oleh Mahkamah Konstitusi RI, mengingat apabila pada saat Rapat Pleno Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Paslon Bupati dan Wakil Bupati Mimika Tahun 2024 baik pada tingkat distrik maupun kabupaten, tidak ada rekomendasi baik dari Pengawas Distrik (Pandis) maupun Bawaslu Kabupaten Mimika.
“Dengan alasan apabila tidak ada rekomendasi dari pengawas Pemilu, maka tidak ada kejadian khusus dan/atau keberatan saksi pada saat rapat pleno penetapan rekapitulasi penghitungan perolehan suara oleh termohon. Oleh sebab itu permohonan pemohon haruslah dinyatakan ditolak,” terangnya saat dihubungi, Sabtu (15/2/2025).
Ia menjelaskan dalil pertama terhadap Calon Bupati Mimika nomor urut 1 Johannes Rettob adalah tentang sengketa administrasi Pemilu, merupakan kewenangan Bawaslu Kabupaten Mimika.
Selanjutnya akan berproses hukum pada tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung RI, dengan alasan karena berkaitan dengan syarat administrasi Pencalonan Bupati dan Wakil Bupati Mimika Tahun 2024.
“Oleh karena hukum dalil pemohon tersebut haruslah ditolak,” terangya.
Sebelumnya Saksi Ahli pihak terkait yakni Paslon Nomor Urut 1 Johannes Rettob dan Emanuel Kemong, I Gusti Putu Artha dalam sidang pokok perkara di MK pada Selasa, 11 Februari 2025 menjelaskan ada dua dalil utama dalam gugatan Paslon nomor 2.
Pertama menurut Pemohon, Johannes Rettob sebagai Calon Bupati Mimika terpilih pada saat menjabat sebagai Plt Bupati di Mimika, telah melakukan pelanggaran serius telah menggantikan pejabat, enam bulan sebelum masa penetapan calon tanpa izin Menteri Dalam Negeri.
Dalil kedua pelanggaran yang serius terhadap asas Pemilu yang Luber dan Jurdil serta melanggar prinsip one man one vote.
Pemohon juga menyampaikan terdapat 12 distrik yang penggunaan surat suara, suaranya mendekati 100 persen bahkan konon surat suara cadangan terpakai.
Terhadap dalil pertama, Undang Undang nomor 10 Tahun 2016 pasal 71 pada ayat 3, Gubernur dan Wakil Gubernur dan seterusnya dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Paslon, baik di daerah sendiri maupun daerah lain dalam enam bulan sebelum tanggal penetapan Paslon sampai dengan penetapatan Paslon terpilih, dilarang untuk menggunakan program kewenangan dan kegiatannya.
Apabila itu dilakukan maka masuk pada ayat lima dalam hal gubernur dan strukturnya melanggar ketentuan petahana dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon, oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Ini kerangka normatif untuk membedah apakah kemudian pihak terkait dalam hal ini Cabup Mimika Johannes Rettob melanggar pasal 71 atau tidak.
Maka kemudian setelah dalami persoalan ini ditemukan beberapa fakta.
Pertama terhadap dalil pertama, yang sebelumnya telah dilaporkan kepada Bawaslu dan dari klarifikasi terjawab bahwa Johannes Rettob pada saat itu bukan Bupati Mimika Periode 2019-2024.
“Fakta hukum yang benar bahwa Johannes Rettob adalah Wakil Bupati Mimika yang berpasangan dengan Bupati Eltinus Omaleng masa jabatan 2019-2024, yang dilantik pada tanggal 6 September 2019 dan seterusnya berdasarkan SK Mendagri dan seterusnya,” terangya.
Kedua sebagai wakil bupati yang oleh Mendagri ditunjuk menjalankan tugas Bupati Mimika yang kedua kalinya, terhitung sejak 24 April 2024 sampai 6 September 2025, Johannes Rettob tidak pernah melakukan mutasi pejabat ASN yang beredar dalam bentuk petikan keputusan yang ditandatangani pebat Sekda Mimika.
Petikan keputusan tersebut diterbitkan dengan kode SK 824.3 dan 824.4 yang bukan kode prodak SK Bupati Mimika. Padahal kode SK Bupati yang benar adalah 82.1dan 2.
Ketiga, ada juga fakta kedua yang ditemukan bahwa hasil investigasi tim Pemerintah Provinsi yang diturunkan oleh kementerian juga menyatakan bahwa tidak ditemukam fakta terjadinya mutasi sebagaimana dilampirkan.
Keempat, ketika digali lebih jauh ternyata sudah ada surat klarifikasi terkahir dari Sekda Mimika nomor 800 dan seterusnya tanggal 20 Januari 2025, poin yang kedua menyatakan petikan SK mutasi ASN tersebut terdapat kekeliruan dan telah dibatalkan dengan SK pembatalan nomor 26 dan seterusnya tanggal 30 Agustus 2024 yang ditandatangani oleh Penjabat Sekda Mimika.
“Jadi pembatalan 30 Agustus 2024 tapi surat klarifikasinya 2025,” ujarnya.
Ayat 3, lanjut dia selama masa jabatan Plt Bupati Mimika sejak April 2024 sampai September 2024, Johannes Rettob tidak pernah melakukan pelantikan roling pejabat di lingkungan Pemkab Mimika.
Kelika, fakta menarik lainnya pada Tahun 2016 ada Surat Edaran Bawaslu nomor 049/KA Bawaslu PM 06.00 XI/2016 tanggal 20 Oktober 2016 yang pada intinya disitu dijelaskan dalam hal Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Wali Kota serta Wakil Wali Kota menerbitkan keputusan yang mengembalikan pejabat yang dipindahkan pada posisi semula, maka perbuatan pergatian pejabat tidak termasuk dalam kategori sebagaimana diatur dalam pasal 71 Undang-Undang nomor 10 Tahun 2016.
“Dengan seluruh fakta itu disimpulkan kesimpulan bahwa pertama SK tidak pernah diterbitkan oleh bupati karena petikan SK berbeda. Kedua tidak pernah ada eksekusi dilaksanakan dan proses mutasi tidak terjadi. Semua klarifikasi ini sebenarnya sudah dilakukan pada tahapan pendaftaran seleksi berkas Paslon,” terang Putu.
Terhadap dalil kedua pelanggaran serius maka diungkapkan secara kronologi, dalam sistem Pilkada seluruh dugaan pelanggaran yang terjadi pada tiap tahapan diselesaikan secara berjenjang sesuai dengan kewenangan lembaga masing-masing, baik Bawaslu, KPU beserta jajaran termasuk DKPP untuk menjelaskan bahwa penyelesaian pelanggaran bertingkat di semua level di semua tahapan itu sangat rapi sekali.
Dugaan penggunaan surat suara dalam jumlah besar yang dipergunakan oleh Bupati dan Wakil Bupati Mimika telah dilaporkan oleh pemohon namun tidak jelas setelah dibaca aturan. “Mana pelaksnaan pemilihan yang dilanggar? kalau orang menggunakan surat suara 100 persen pelanggaran di mana?,” kata dia.
Dalil kedua ini juga tidak menjelaskan pasangan calon mana yang diuntungkan atau dirugikan berkaitan dengan penggunaan surat suara yang maksimal itu, sehingga dikatakan harus didiskualifikasi atau Pemungutan Suara Ulang (PSU).
Dugaan pelanggaran pada dalil kedua juga tidak jelas menggambarkan dengan alat bukti yang cukup terkait pelanggaran prosedur dalam pelaksanaan pemungutan suara, pelanggaran prosedur setiap TPS.
Dalam perhitungan jumlah surat suara pemohon menyatakan termohon telah menerima kelebihan suara cadangan disemua distrik dari seharusnya.
Jadi ini ada dua versi yang berbeda pemohon menyatakan ada kelebihan surat suara setelah dipelajari ternyata pemohon salah cara menghitungnya. Jadi pemohon menghitung surat suara di distrik itu total jumlahnya baru dikalikan dua setengah persen.
“Regulasinya tidak demikian, regulasi adalah perolehan suara di setiap TPS dikalikan dua setengah persen baru ketemu. Tentu angkanya jadi beda. Diberikan ilustrasi ini karena hampir di semua distrik dikatakan kelebihan,” beber Putu.
Seperti di Distrik Agimuga versi pemohon beda dengan hasil dilapangan karena keliru dalam perhitungan tidak sesuai regulasi dan memang seperti itu faktanya.
Dalam PKPU pasal 17 dan 18 telah mengatur dengan jelas tata cara pemungutan suara dan rekapitulasi secara berjenjang termasuk peran saksi di dalamnya.
Berdasarkan kenyataan di lapangan rekapitulasi distrik berlangsung dengan lancar, tidak ada catatan keberatan dan kegaduhan yang mempersoalkan soal penggunaan surat suara yang maksimal itu.
Sempat diakukan insterupsi terhadap dua PPD, setelah dikroscek datanya malah menggunakan kesepakatan suara terhadap calon pemohon. Terhadap penggunaan surat suara maksimal tersebut yang kemudian terjadi malah ada data menarik justru pemohon menang di Distrik Kwamki Naram dan Kuala Kencana. Paslon lain juga menang di distrik Tembagapura dan Mimika baru.
“Terungkap bahwa penggunaan surat suara maksimal tersebut distribusi surat suaranya ke semua calon dan distrik distrik tertentu, justru pemohon yang menang. Tidak selalu menguntungkan pihak terkait,” ungkapnya.
Wartawan/Editor: Yosefina