TIMIKA, CARTENZNEWS.com-Konflik sosial yang terjadi di Distrik Mulia pada Rabu, 5 Februari 2025 pagi mengakibatkan banyak korban.
Bentrok antara kelompok ini terus terjadi, hingga 8 Januari 2025 tercatat 143 jiwa yang menjadi korban. Dari jumlah ini satu orang meninggal duni dan 22 pasien dirujuk ke luar Papua tengah.

(Foto: Yosefina/CARTENZNEWS.com)
21 pasien dirujuk ke RSUD Dian Harapan, RSUD Abepura dan satu pasien dirujuk ke salah satu rumah sakit di Kota Makassar karena luka tembus dada akibat tertikam panah.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Tengah, Silwanus Sumule mengungkapkan konflik ini bukan sekadar tentang bentrok di jalanan tetapi tentang pelayanan kesehatan du RSUD Mulia dan RSUD Nabire yang dipaksa melampaui batas kemampuannya.
RSUD Mulia, yang biasanya menjadi tempat berlindung bagi yang sakit, kini harus menghadapi gelombang pasien yang melebihi kapasitasnya.
Tenaga medis berjibaku, melawan kelelahan dan keterbatasan, sementara persediaan peralatan medis dan obat-obatan semakin menipis. Di tengah semua ini, keselamatan tenaga kesehatan di wilayah itu juga berada di ujung tanduk.
“Korban yang mengalami cedera serius harus durujuk ke rumah sakit yang ada di luar wilayah Papua Tengah. RSUD Mulia dan RSUD Nabire tidak memiliki dokter spesialis atau peralatan medis yang cukup untuk menangani luka tembus di dada, sehingga 22 korban luka serius harus dirujuk,” kata Silwanus dalam rilis yang diterima CARTENZNEWS.com, Minggu (9/2/2025).
Untuk proses merujuk 22 pasien ini tidak ditanggung BPJS Kesehatan karena memang BPJS tidak menanggung biaya evakuasi, kemudian biaya perawatan lanjutan juga tidak ditanggung tragedi ini dikatgorikan sebagai ‘konflik sosial’.
Menurutnya hal ini Ironis, mengingat Papua Tengah telah mencapai status ‘Universal Health Coverag’ dan selalu memenuhi kewajiban pembayaran kesehatan tanpa cela, namun kenyataan berkata lain ketika aturan bertemu dengan kemanusiaan.
Pemerintah Provinsi Papua Tengah berdiri di garis depan, memastikan bahwa biaya rujukan ke pusat-pusat rujukan terbaik di Indonesia akan ditanggung. Prinsip Salus populi suprema lex est (Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi) menjadi pijakan moral di tengah krisis ini. Namun tetap saja perhatian khusus dari Kementerian Kesehatan sebagai penanggung jawab utama layanan kesehatan di Indonesia sangatlah diperlukan. “Terutama untuk pembiayaan perawatan rujukan medis yang mendesak dan tak tercakup oleh BPJS,” ucapnya.
Untuk pelayanan yang dilakukan hingga semua upaya merujuk 22 pasien ini, Silwanus berterima kasih kepada Forkopimda Pemerintah Provinsi Papua, tokoh adat dan agama di Mulia, serta Tim Krisis Kesehatan Sub Regional Papua Tengah di Nabire yang menurutnya mereka dalah wajah-wajah kemanusiaan yang bekerja tanpa lelah.
“Tak lupa, penghargaan juga patut diberikan kepada Tim KO Sehat di Jayapura dan RSUD rujukan yang dengan sigap menerima pasien dari Puncak Jaya.” ucapnya.
Menurutnya kolaborasi lintas sektor ini adalah bukti bahwa di tengah badai konflik, semangat solidaritas masih menyala. Kerja sama erat antara pemerintah, tenaga kesehatan dan masyarakat sangat dibutuhkan. Dalam situasi seperti ini, perhatian dan tindakan cepat dari semua pihak bukan hanya kewajiban, melainkan panggilan hati yang mendesak.
Kekerasan yang melanda Puncak Jaya bukan hanya ujian bagi pemerintah atau sistem kesehatan, tetapi juga cerminan sebagai bangsa merespons penderitaan sesama.
Kini saatnya semua pihak berdiri bersama, menanggalkan sekat-sekat perbedaan dan menempatkan kemanusiaan di atas segalanya. Karena pada akhirnya, di saat seperti inilah, nilai-nilai solidaritas dan kasih sesama benar-benar diuji.
“Masa depan Puncak Jaya, bahkan Papua Tengah, bergantung pada bagaimana kita memilih untuk bertindak hari ini. Di ujung semua ini, mungkin kita akan menemukan bahwa dalam setiap luka yang terbuka, ada pelajaran tentang cinta, harapan, dan kekuatan untuk terus melangkah,” pungkasnya. (Red)