SLEMAN, CARTENZNEWS.com – Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER) dan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) menggelar diskusi bedah buku Menghadang Kubilai Khan (MKK).
Acara yang berlangsung di BeNaDa Cafe, Sonosari, Tegaltirto, Berbah, Sleman, Sabtu (15/2/2025) ini mengangkat tema Persatuan Nasional, Keadilan, dan Kemakmuran Bangsa.
Moderator diskusi, Nono Karsono, menyebutkan bahwa ini merupakan kali pertama bedah buku MKK digelar di Yogyakarta setelah sebelumnya berlangsung di lima lokasi lain. Acara ini menghadirkan langsung penulis novel sejarah Menghadang Kubilai Khan, Antun Jaka Susmana, serta sejumlah narasumber, yaitu budayawan Kiswondo, Dr. Tanto Sentono, M.Pd., pemerhati perempuan Isti Khomah, S.Fil., dan pemulung kata Ben Antono.
Dalam pemaparannya, Antun Jaka Susmana menjelaskan bahwa novel Menghadang Kubilai Khan lahir dari kegelisahannya terhadap sejarah nasional yang kurang mengangkat perlawanan bangsa Indonesia terhadap kekuatan asing. Ia menyoroti perlawanan Kertanegara dari Kerajaan Singasari terhadap Kubilai Khan, penguasa Mongol yang saat itu menguasai Asia dan Eropa pada abad ke-13.
“Tercatat hanya dua negara yang mampu menghadapi Imperium Kubilai Khan, yakni Jepang dan Indonesia melalui Kerajaan Singasari. Sayangnya, nama Kertanegara kurang dikenal dalam sejarah, padahal ia adalah pemimpin yang berani melawan penjajahan,” ungkap Susmana.
Ia berharap novel ini tidak hanya menjadi bacaan yang menghibur tetapi juga menjadi literasi sejarah yang memperkuat nasionalisme.
Dr. Tanto Sentono menyoroti bahwa novel Menghadang Kubilai Khan setebal 348 halaman ini menggambarkan intrik politik, kesetiaan, pengkhianatan, dan perjuangan keras mencapai cita-cita persatuan nasional. Ia menekankan bahwa sejarah dan politik pada abad ke-13 menunjukkan perjuangan rakyat yang diwakili oleh tokoh Ken Arok dalam membangun Kerajaan Singasari.
“Buku ini juga menampilkan perlawanan terhadap kekuatan asing sebagai titik awal penolakan penjajahan di Nusantara,” ujarnya.
Sementara itu, Isti Khomah menyoroti keberadaan perempuan dalam novel ini. Ia mengapresiasi munculnya tokoh Tapasi, seorang prajurit perempuan yang diberi tugas sebagai delegasi kerajaan. “Tokoh Tapasi menggambarkan kesetaraan gender dalam sejarah. Namun, dalam novel ini juga digambarkan bahwa perempuan kerap menjadi sumber konflik, sehingga menjadikan cerita lebih kompleks dan realistis,” ungkapnya.
Budayawan Kiswondo melihat novel ini sebagai referensi yang baik mengenai gambaran kerajaan masa lalu. Ia menekankan bahwa sastra merupakan bagian dari hegemoni kekuasaan dan pertarungan ideologi.
“Yang menarik dari novel ini adalah kuatnya pesan moral tentang pentingnya persatuan nasional dalam menjaga kedaulatan serta menghadang serangan pihak asing,” pungkasnya.
Ben Antono menambahkan bahwa ancaman terhadap persatuan bangsa telah ada sejak dulu. “Negara kita sering kali lemah dalam menjaga keutuhan, mudah diadu domba demi kepentingan asing,” ujarnya.
Salah satu peserta diskusi, Priyo, warga Berbah, mengapresiasi kerja keras panitia yang telah menghadirkan diskusi bedah buku di luar kampus dan pusat kota. “Acara ini langka dan menarik. Semoga menjadi awal berkembangnya literasi di pedesaan,” katanya.
Diskusi yang berlangsung hingga pukul 13.00 ditutup dengan menyanyikan lagu Bagimu Negeri untuk meneguhkan semangat cinta tanah air. (Red)