TIMIKA, CARTENZNEWS.com-Administrator Keuskupan Timika, Pastor Marthen Kuayo Pr, menegaskan, Gereja Katolik Keuskupan Timika menarik diri dari keikutsertaan dalam Majelis Rakyat Papua (MRP) MRP Periode pertama karena tidak mau turut serta meletakan fondasi yang tidak benar pada provinsi baru, Papua Tengah.
Dia menuturkan bahwa pada Selasa 25 Juli 2023 lalu, sekitar pukul 16.30 WP, tim dari Pemerintah Provinsi Papua Tengah serta Panitia Seleksi (Pansel) MRP telah melakukan pertemuan dengan Pimpinan Keuskupan Timika di Kantor Keuskupan Timika. Tim dari Provinsi Papua Tengah, yang berjumlah 10 orang tersebut dipimpin oleh Asisten 1, Ausilius You.
“Maksud pertemuan adalah Pemerintah Provinsi Papua Tengah dan Pansel MRP Papua Tengah ingin mendengar secara langsung dari Pimpinan Agama Katolik Keuskupan Timika terkait dengan nota keberatan dan pembekuan rekomendasi dari Agama Katolik Keuskupan Timika,” ungkap Pastor Administrator pada konferensi pers yang dilaksanakan di kantor Keuskupan Timika, jalan Cendrawasih SP2, Kabupaten Mimika, Senin (25/9/2023).
Marthen menegaskan empat poin sebagai suara Pimpinan Keuskupan Timika yaitu pertama, berkaitan dengan proses seleksi MRP Papua Tengah yang tidak benar, Agama Katotik Keuskupan Timika telah menyampaikan keberatan, melalui Nota Keberatan yang dikirim kepada PJ Gubenur Papua Tengah tanggal 4 Mei 2023.
Kedua, karena nota Keberatan tersebut tidak diperhatikan oleh Pemerintah Provinsi Papua Tengah maupun Pansel MRP Provinsi Papua Tengah, maka Agama Katolik Keuskupan Timika, melalui Pastor Yuvensius Tekege Pr yang dimandatkan untuk mengawal proses penjaringan calon anggota MRP Pokja Agama Katolik, menyampaikan surat pembekuan rekomendasi dari pimpinan Agama Katolik untuk semua kandidat utusan agam katolik.
Ketiga, atas dasar inilah, pada tanggal 25 Juli 2023, pada waktu pertemuan dengan Pemerintah Provinsi Papua Tengah dan Pansel MRP Papua Tengah di Kantor Keuskupan Timika, pimpinan Agama Katolik Keuskupan Timika, menegaskan lagi pembekuan rekomendasi dan menolak untuk ikut serta dalam keanggotaan MRP pada periode pertama, karena tidak mau turut serta meletakan fondasi, dasar yang tidak benar pada provinsi baru, Papua Tengah.
Keempat, jika siapapun yang mengatasnamakan Agama Katolik dan berusaha mengaktifkan rekomendasi Agama Katolik Keuskupan Timika, maka pimpinan Keuskupan Timika menegaskan bahwa orang tersebut tidak mewakili Agama Katolik Keuskupan Timika pada Pokja Agama.
“Keputusan ini mengikat dan berlaku untuk semua pihak,” ujarnya.
Marthen juga meminta agar pemerintah menghapus Pokja Agama dan menggantikannya dengan Pokja Pemuda.
Dia menilai MRP adalah lembaga kultural namun akhir-akhir ini dijadikan sebagai lembaga politik. Orang berebut kursi MRP baik dengan cara yang wajar maupun tidak wajar.
Hal ini mengakibatkan lembaga agama sebagai pelindung dan penjaga nilai-nilai moral direduksi fungsinya menjadi sarana untuk merebut kekuasaan. Moralitas manusia tidak bisa lagi dikontrol oleh agama, karena fungsi ini diboncengi kepentingan politik.
“Maka kami menilai, MRP Pokja Agama tidak cocok lagi, kalau perlu pemerintah ganti dengan Pokja Pemuda. Karena agama tidak bisa diklaim oleh suku tertentu dan kelompok tertentu, agama mesti berada di atas semua kepentingan,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Timika, Saul Paulo Wanimbo yang didampingi oleh anggota SKP Rudolf Kambayong pada kesempatan yang sama menegaskan, Pimpinan Keuskupan Timika dan utusan Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Keuskupan Timika, Dekenat Teluk Cenderawasih melakukan jumpa pers ini untuk memperjelas sejumlah kesimpangsiuran posisi agama dan Gereja Katolik dalam proses seleksi dan penetapan anggota Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Tengah (MRPT).
“Kami berharap setelah pemberitaan ada kejelasan yang menyudahi aneka ketidakjelasan dan perdebatan,” kata Saul.
Dia menjelaskan bahwa dalam tradisi agama dan gereja katolik, dikenal istilah Administrator Diosesan yang adalah seorang ordinaries wilayah tertentu dalam Gereja Katolik Roma. Umumnya, administrator diosesan terpilih saat tahta suatu keuskupan mengalami ke lowongan dan tidak ada administrator apostolik yang ditunjuk untuk mengisi tahta keuskupan tersebut.
Dalam tugas keseharian, seorang Administrator Diosesan bertugas sebagai pimpinan suatu wilayah keuskupan.
Dalam Kitab Hukum Kanonik juga dijelaskan, bahwa Dewan Konsultores suatu wilayah gerejawi harus memilih seorang administrator dalam tempo delapan hari setelah tahta uskup mengalami kekosongan. Dewan ini perlu memilih seorang administrator yang merupakan seorang imam atau uskup yang berusia minimal 35 tahun (Kan. 421 $ 1 dan Kan. 425 $ 1)
“Dalam sistem pemerintahan sipil-profan, dikenal adanya kepemimpinan transisi. Penjabat bupati, walikota untuk tingkat kabupaten dan Kotamadya serta penjabat gubernur untuk tingkat provinsi, misalnya. Sekalipun mereka yang ditunjuk dan dilantik ini hanya sebagai pejabat antarwaktu, namun segala keputusan yang mereka buat dan tandatangani selalu bersifat resmi dan sahih secara formal yuridis. Demikian juga dengan seorang Administrator Diosesan. Segala hal yang diputuskan olehnya bersifat mengikat secara kanonik,” tegas Saul.
Dalam konteks penetapan anggota MRPT utusan agama Katolik, kata Saul segala keputusan yang dikeluarkan serta ditandatangi oleh Administrator Diosesan dan atau delegatusnya tentulah bersifat mengikat dan berlaku untuk semua pihak.
Untuk menindaklanjuti sikap gereja Katolik tersebut, Ketua Komisi Kerawam Dekenat Teluk Cendrawasih, Marselus Gobai, SH beserta satu anggota Komisi Kerawam yang sempat hadir, Bartolomeus Mirip. Mereka menegaskan siap untuk mengawal keputusan Administrator Keuskupan Timika tentang pembekuan rekomendasi terhadap anggota MPR Provinsi Papua Tengah, Pokja Agama.
“Kami akan kawal penerapan keputusan Administrator Keuskupan Timika, sejauh tidak ada peninjauan kembali selama penjaringan dan penetapan calon MRP Provinsi Papua Tengah,” kata Marselus.
Wartawan/Editor: Yosefina